Penggunaan "kata" merepresentasikan cara berpikir "pengucap kata". Dosbingku banyak memberikan masukan mengenai penggunaan kata kepadaku. Dan aku suka mencatat percakapanku dengan beliau.
Contohnya :
ketika kita berbelanja, ada dua model pertanyaan oleh kasir :
1. "Apakah hanya itu?"
2. "Apakah itu sudah semuanya Pak/Ibu/Saudara/i?"
Pertanyaan ke-1 lebih memiliki makna "kok hanya itu sih membelinya?beli yang banyak dong?". Sedangkan pertanyaan yang ke-2 lebih memiliki makna "mengingatkan pembeli, apakah pembeli sudah membeli semua apa yang dibutuhkannya".
Contoh lagi ;
1. "Jangan terlambat/telat"
2. "Tolong tepat waktu"
Pernyataan ke-1 adalah bersifat "larangan atau bahkan sebuah perintah" dan pernyataan ke-2 adalah bersifat "minta tolong". Pernyataan ke-1 semuanya mengandung kata yang bersifat "negatif" dan pernyataan ke-2 semuanya mengandung kata yang bersifat "positif".
Contoh lagi :
Menggurui dan Digurui
ehm, kalau ada yang berniat menghapus secara resmi, dosbingku deh yang paling setuju kata itu hilang dari perbendaharaan bahasa Indonesia.
iya juga yah..kenapa harus ada kata menggurui/digurui?kenapa harus ada yang merasa digurui/menggurui?kan nasehat dan menasehati itu adalah sebuah kewajiban?Kosa kata itu memang seharusnya tidak perlu ada. Karena [Henny Marlina] :
a. Pada saat keluar kata MENGGURUI berarti pada saat itu ada pihak yang sudah merasa cukup dengan ilmunya, cukup dengan pengetahuaanya, itu yang pertama. Ini akan melebar jikalau kita mau sedikit mengingat pesan Nabi yang mengatakan tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat...artinya tiada kata selesai dan cukup
b. Dan yang kedua...pada saat keluar kata MENGGURUI dan DIGURUI maka ada ketidaksejajaran antara penyampai dan penerima...satu pihak merasa lebih tinggi dibanding [pihak yang lainnya. Adakah hak kita untuk ini?
itulah tiga contoh, dan sekarang aku ingin menuliskan cerita yang lainnya di entri berikutnya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar