Setelah ujian, begini nih, melampiaskan pikiran pada lembaran-lembaran, hasilnya jadilah ayalan-ayalan yang notabene mungkin ‘ogah bangeeeeeeetzs siiih???’ trus ditambahin dech dengan statement ‘are you a dreamer??’. (hhuuuhhhh...’YES’. oups ‘may be’ I mean : may be yes may be not, it’s up to you guys----lllhlplh, belepotan. Untuk temen-temenku: masih ingatkah kalimat “we use java coz’ we’re java’s people, we life in java?hahaa...”)
Langsung saja latar belakang konsep. Sederhana, dianalogikan sebuah database, sebuah data bisa masuk ke dalam suatu database minimal memenuhi beberapa kriteria yang telah menjadi konstraint dari atribut suatu relasi. Jadi dalam satu atribut memiliki anggota/instance yang sama minimal typenya sama walaupun panjangnya tidak sama apalagi alokasi memorinya. Alasan mudahnya yakni rapi, terorganisasi, terstruktur, terseragamkan-memperkuat identitas (g’ computer science banget sih alasannya!!hehe..trus karena apa ya? Oww..oww..untuk yang berhubungan dengan query mungkin, tau’ dah :D ) Lalu apakah hanya untuk alasan itu sehingga perlu diadakan perbaikan untuk seluruh web yang ada? Berarti reinfrastruktur dong?buang-buang waktu dan biaya!
Bukan hanya itu, jika ada standard minimal format web dari instansi dan departemen ini, maka disana tersirat bahwa ada minimal informasi yang harus disediakan oleh mereka. Hal ini berhubungan dengan adanya gagasan untuk membangun sistem informasi terseragam untuk seluruh instansi dan departemen di Indonesia (hehe...dapet sedikit cerita dari beliau yang baru saja bergabung dengan departemen Komunikasi dan Informasi Indonesia, tapi ini baru sebatas gagasan yang diusung beliau. Dilatarbelakangi oleh ketidak seragaman sistem informasi yang menyebabkan kurang reliablenya informasi yang dibangun dari data---tapi saya tidak yakin apakah saya sudah bener menangkap maksud beliau/dalam menginterpretasikan kembali cerita beliau ini). Kalau sistemnya saja mau diseragamkan berarti itu bukan mustahil jika di level user interface-nya juga diseragamkan? Bukan begitu bukaaan?
Ya intinya dapat dianalogikan jika di dunia netpreneur nie ; istilahnya lebih prefer menjual waktu akses, daripada menjual barang. Apa itu? Yach, aku juga bingung. Udahan dulu yach, uda capek nulis, pengen tidur trus M A I N.
Tahukah anda? Mengenai kegiatan pemilu Indonesia di Holland beberapa tahun silam?seperti apakah mekanisme yang diterapkan? Samakah dengan yang diterapkan di Indonesia?sudah pasti berbeda, “YA BERBEDA” (semangat banget ne ^-^, hehheee iya coz’ ceritanya ne lagi nyeritain ulang apa yang uda pernah diceritain pak Hasyim, kemudian saya simpulkan sendiri)
Beberapa tahun silam pak Hasyim-salah satu dosen saya-dipercaya untuk menghandle strategi mekanisasi pemilihan umum di Holland. Hmmm ... tak heran karena beliau adalah doktor muda lulusan Delf Holland dengan disertasi terbaik se-Eropa untuk computer engineering spesialisasi networking(huuuuuhh ... sotoy :D ..... balik ke maintopic!!!!! Iya..iya..^-^, g’ papalah kagum ma beliau daripada kagum ma hal/entitas yang ngga’ngga’ :p ... Pisz....^-^V .singkat aja dah ceritanya coz’ mau M A I N. Biasaaa..ujian baru ja kelar maunya M A IIIII N mlulu ^-^)
Kalau biasanya di Indonesia form untuk memilih menggunakan selembar kertas yang dilubangi tepat pada calon yang dikehendaki lalu dikumpulkan dalam kotak. Setelah semuanya memilih maka kotak dibuka dan dihitung satu persatu secara manual, kemudian form tadi disatukan kembali rapi trus dikirim kepusat yang bertanggungjawab atas hal ini.
Lain halnya di Holland. Sebelum hari pemilihan tiba, beberapa hari sebelumnya semua penduduk Indonesia yang ada di Holland dikirimi surat yang isinya undangan untuk menghadiri pemilihan umum di suatu wilayah yang sudah ditetapkan (tapi saya lupa tepatnya di kota mana L , yaaah pembaca kecewa!!? yang saya ingat pokoknya tempat tersebut adalah kota yang paling banyak tempat pariwisatanya di Holland). Selain undangan, juga disertakan beberapa form. Form-form ini bertuliskan barcode. Untuk setiap calon satu form dengan barcode yang unique.
Ketika harinya sudah tiba, mereka datang ke tempat yang dimaksud untuk melakukan pemilihan. Mereka tidak datang one by one tapi berkelompok menggunakan bus, bergantian setelah satu kota kemudian kota berikutnya, karena sudah ada jadwalnya sendiri-sendiri tiap kota (jadi rame-rame gitu ^-^, baguslaaah kompak, yeah jauh tanah air beta tapi tetep Bhinneka Tunggak Ika dan bersatu kita teguh :p, setuju-setuju????). setelah itu mereka mamilih calon yang mereka yakini dengan merekam barcode yang ada pada form tadi dengan tool yang sudah disediakan. Jadi jalannya pemilihan sangatlah efektif dan efisien. Kenapa? Ya, pertama karena prosesinya cepat- iya kan tinggal naruh barcode di bawah tool berinframerah khusus perekam barcode(tool berinframerah??hahaa....bilang aja kagak tau nama toolnya :D ? iya pan? Ngaku hayooo...) data otomatis langsung terekam dalam database. Yang kedua, karena perekaman sudah terotomatisasi maka mengurangi tingkat human error dalam proses penghitungan. Selain itu dengan mekanisasi seperti ini sangatlah membantu mengingat tenaga yang menghandle sangatlah terbatas.
Intinya mekanisme dengan memanfaatkan barcode ini membuat pemilu di Holland dapat berjalan dengan efektif dan efisien. Baik bagi pihak pemilih, penghandle, maupun hasil yang didapat lebih reliable penghitungannya. (tapi...ada tapinya nie...mungkin melelahkan bagi beberapa orang di belakang layar/stakeholders seperti si pembuat program ---sistem pemilu dengan barcode---- kekurang telitian pada program maka kacau balaulah semuanya, waktu perencanaannya pun otomatis lama, intinya perancangan sistemnya sepertinya rumit).
Quick qount adalah satu kata yang tidak asing lagi bagi kita. Quick qount ini sering digunakan untuk estimasi hasil pemilihan sementara dalam Pilkada maupun Pemilu. Kedua hasil sementara kegiatan ini dengan mudahnya dipantau oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Hasilnyapun terasa sangat real time; menunjukkan hasil sementara setiap point waktu tertentu.
Tentunya sangat berbeda dengan kegiatan Sensus Penduduk. Boro-boro ‘up-date status angka sementara’ dalam satuan waktu tertentu. Tiga bulan dari hari akhir kegiatanpun belum juga dapat dikeluarkan angka sementara tersebut. Bahkan diakui atau tidak, pengeluaran angka Sensus Penduduk terasa sangatlah tidak up to date aliansi ‘uda keburu dingin’. Dengan cakupan wilayah yang sama dan respondennyapun sama yakni penduduk Indonesia kenapa tidak mencoba menerapkan quick qount saja? Apakah semua infrastruktur yang dimiliki pihak yang bersangkutan dengan kegiatan Sensus Penduduk masih ‘ecek-ecek’? Sehingga belum siap menerapkan quick qount dalam kegiatannya? Hmmm....yuk-yuk...kita tinjau bersama dengan segala keterbatasan ilmu dan pemahaman yang saya miliki..... (sotoy :D orang bukan anak statistik jugak ???hehhee...)
Kita tinjau dari sisi kegiatannya dulu. Dasar melakukan quick qount adalah untuk suatu kegiatan yang sifatnya poling sebagai earlying system. Sedangkan dasar melakukan sensus penduduk adalah mencacah setiap penduduk Indonesia. Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada Sensus Penduduk bukan hanya ingin mengetahui jumlah entitas obsevasi(penduduk) tapi juga ada informasi lain dari setiap entitas observasi yang ingin diketahui.
Yang kedua mari kita tinjau dari form yang dipakai. Karena quick qount ini hanya bersifat poling maka form hanya terdiri dari satu variabel saja. Pembacaan form pun hanya satu buah variabel yakni manakah dari sekian entitas yang dicalonkan yang dipilih. Sehingga perekaman datapun akan jauh lebih simpel daripada perekaman data pada Sensus Penduduk. Form yang digunakan Sensus Penduduk dapat dipastikan memuat lebih dari sepuluh variabel. Sebagai contoh Sensus Penduduk 2010 menggunakan 41 variabel. Sangatlah signifikan perbedaan variabel ini.
Yang ketiga dari sisi penghitungannya. Quick qount ini dilakukan dengan mengambil sample pada tempat-tempat yang dijadikan pusat kegiatan pemilihan di beberapa daerah yang sudah ditentukan dan kemudian mengestimasi menggunakan sample ini dengan metode tertentu. Sedangkan dalam Sensus Penduduk dilakukan door to door untuk seluruh entitas yang termasuk dalam anggota populasi (Penduduk Indonesia). Dapat diilustrasikan; quick qount bisa mendapatkan data 10 sample dari satu tempat pemilihan sedangkan pada Sensus Penduduk untuk mendapatkan data dari 10 penduduk harus mendatangi 10 penduduk tersebut di tempat tinggalnya masing-masing .
Bisa dibayangkan jika jarak satu rumah dengan yang lainnya kira-kira 50 meter untuk daerah plosok?(ampun daaaaah capekna :D, bukankah ukuran kinerja tim itu sangat ditentukan oleh anggota yang sangat lemah-dalam hal ini daerah yang medannya ‘wow’ banget) trus kenapa g’ adopsi caranya quick qount aja : orang-orang pada dikumpulin di satu tempat trus dicacah gitu? Hmm...ide inipun tidak bisa diterapkan mengingat teknik mendapatkan data pada Sensus Penduduk bukan hanya dengan wawancara langsung tetapi juga observasi langsung oleh pencacah pada beberapa variabel, obeservasi ini dilakukan untuk memastikan konsep benar, artinya belum tentu konsep yang diterima responden(entitas observasi/penduduk) terhadap pertanyaan itu sesuai dengan yang dimaksudkan (pokoknya yang saya tau teknik ngedapetin datanya HARUS door to door : nhah loh ... ogah banget kalau uda kena “pokoknya” ; bilang aja penulis g’ bisa mengilustrasikannya, belajar dulu sono!!! Hehheee....)
Untuk sementara hanya beberapa hal di atas yang bisa saya tinjau. Intinya ketika kita berbicara quick qount maka frame pembicaraan adalah sampel dan angka yang dihasilkan adalah statistik berarti ada estimasi didalamnya. Sedangkan ketika kita berbicara Sensus Penduduk maka frame pembicaraan adalah populasi dan angka yang dihasilkan adalah parameter berarti tidak ada estimasi di dalamnya ; hasilnya merupakan sesuatu yang pasti. (yaaaa walaupun mungkin ada satu dua tiga penduduk yang lewat cacah/variabel yg g’ sesuai lapangan ---- do you think human is perfect? They never been perfect!!!)
Sekarang waktunya menyampaikan ke temen-temenku mengenai “Pemikiranku yang nyeleneh” , tapi tetep aja bingung , masih gelap-mbulet seperti bola kasur di pemikiranku tentang :
1.apa salahnya ya kalau di estimasi dululah sebelum mengeluarkan angka yang fix? Menggunakan tool yang baru diterapkan angkatan’49 dalam PKL yakni Uji Kuesioner Cepat? Memungkinkan kah jika menerapkan tool ini di SP?
2.Kalau SP menggunakan 41 variabel, trus apa bedanya konsep sensus dan survei ?