Rabu, 21 Juli 2010
Esensi Format Pendidikan dalam Kacamata Islam
munyeng di salah satu matkul, dapet coret-coretan ini ...
1. Membaca, seperti yg dijelaskan sebelumnya
2. Tauladan (aplikatif)
Mengadopsi konsep bahwa setiap umat memiliki pemimpin dan kitab sendiri-sendiri. Sejarah ini secara tersirat mengajarkan kepada manusia bahwa dibutuhkan entitas yang menjadi tauladan, menjadi contoh untuk setiap nilai yang diajarkan. Entitas ini tidak hanya mentransmisi ilmu tapi juga secara nyata memberikan contoh applikasinya atau dengan kata lain tidak hanya mengungkapkan tapi juga ditunjukan.
3. Sistem dan Objeknya
Entitas dalam hal ini adalah pendidik, keluarga, dan masyarakat.Aspek kehidupan yang real dalam keluarga dan masyarakat merupakan sarana dan media pembelajaran bagi subyek didik. Disinilah letak dari esensi learning society yang menghasilkan cultural learning dan akhirnya sampailah pada kondisi civil society (Effendi Hasan,2008). Suatu kondisi yang mengenalkan ranah learning to do, learning to be, learning to live together, learning to how to learn, and learning to think kepada subyek didik. Selain itu, tersirat nilai integralitas keteladanan yang mengharuskan tidak adanya keterputusan hubungan sekolah, lingkungan dan keluarga.
Memandang subyek didik, fasilitator, pelaksana, dan lingkungan sosial, serta bahan pengajaran sebagai objek-objek. Objek-objek ini memiliki mekanisme dalam berkomunikasi layaknya konsep dalam OOP (Object Oriented Programing), yakni mekanisme yang memiliki konsep abstraksi dan pengapsulan , pewarisan, polymorphism, serta pesan.
Abstraksi menunjukkan karakteristik – karakteristik esensi jenis objek yang membedakannya dari jenis – jenis objek yang lain dan memberikan batasan konseptual yang didefinisikan dengan tegas, relatif terhadap perspektif pengamat (Bambang Harianto, Ir. , MT. :332-333). Kemampuan peserta didik dilihat dari tiga segi yakni IQ,EQ,dan SQ sangatlah bervariatif baik antarpeserta didik dalam satu instansi/lembaga maupun antarinstansi/lembaga di suatu wilayah. Yang bisa dengan pasti mengenali dan menilai kemampuan setiap subyek didik adalah pendidiknya masing-masing. Yang setiap hari berinteraksi dengan mereka. Inilah salah satu dasar, program pengembangan diri dan pelatihan peningkatan kualitas guru menjadi bagian yang tidak boleh dikerjakan sambil lalu.
Sedangkan Polymorphism, dua atau lebih objek dikatakan polymorphic bila objek-objek itu mempunyai antarmuka-antarmuka yang identik namun mempunyai perilaku-perilaku berbeda (Bambang Harianto, Ir. , MT. :357).Oleh sebab itu, sejalan dengan pendapat Rahastomo Ciptadi N, UN lebih tepat jika dimaksudkan sebagai alat pemetaan kondisi pendidikan (mapping) di masing - masing sekolah untuk selanjutnya dijadikan alat untuk mengelompokkan sekolah berdasarkan klasifikasi yang telah ditentukan.
Pengapsulan dimaksudkan agar program terhindar dari menjadi begitu bergantung (Bambang Harianto, Ir. , MT. :333). Karena adanya keberagaman karakteristik (baca : kondisi ) baik subyek didik, lingkungan sosial dan lingkungan fisik, maka untuk mengatasi kekompleksitasan ini setiap instansi/lembaga penyelenggara pendidikan diharapkan memiliki program-program dan metode-metode sendiri yang dapat secara tepat guna dan berdaya guna dalam mengelola domain subyek didik (IQ,EQ,SQ) dengan tidak meninggalkan core value yang sudah menjadi standarisasi pemerintah.
Abstraksi dan pengapsulan merupakan konsep yang saling melengkapi : abstraksi berfokus pada perilaku objek yang dapat diobservasi, sementara pengapsulan berfokus pada implementasi yang memberikan perilaku ini. (Bambang Harianto, Ir. , MT. :334 ). Sebagaimana yang dilihat oleh Effendi Hasan yang intinya bahwa guru dituntut untuk memahami pendekatan kurikulum berbasis kompetensi, yaitu suatu pendekatan subyek didik (student centered approached). Intinya, pendidik memainkan peranan sebagai stabilisator, dinamisator, dan motivator serta menjadi contoh tauladan dalam proses interaksi dengan subyek didik. Kegiatan kelas diusahakan semaksimal mungkin bersifat demokratif, eksploratif dan inofatif dalam upaya membangkitkan dan memberdayakan seluruh perilaku objek ( baca : domain subyek didik yakni kognitif, efektif, dan psikomotorik)
Esensi dari pewarisan adalah suatu kelas baru secara otomatis akan mewarisi fungsionalitas kelas yang telah ada. Adanya pewarisan ini memungkinkan penciptaan klasifikasi berhirarki (Bambang Harianto, Ir. , MT. :345).Selama ini sistem pendidikan yang berjalan di negara ini dinilai sebagai sistem yang memuat unsur sekuleristik yang menghasilkan dikotomi pendidikan baik dari segi knowladge, yakni memisahkan antara pendidikan “agama” di satu sisi dengan pendidikan umum di sisi lain, maupun dari segi status instansi/lembaga penyelenggara pendidikan itu sendiri, yakni adanya asumsi diskriminatif atas pendidikan formal dan non-formal. Asumsi ini men-setting mindset masyarakat bahwa ada institusi primer dan institusi sekunder yang berujung pada pengurungan minat bahwa pendidikan hanya milik orang-orang tertentu saja.
Untuk dikotomi dari segi knowladge. Yang pertama, sebenarnya diakui atau tidak selama ini kuantitas jam untuk pendidikan agama menjadi alasan utama ketidak seimbangan pendidikan. Mencoba melihat dari sisi lain, bukannya alokasi waktu sedikit, namun bagaimana menyiasati waktu yang sedikit tersebut menjadi bermakna. Yang kedua, pelaksanaan pendidikan agama seakan hanya sebentuk ritual tanpa makna. Ia hadir hanya sebagai sebuah bentuk formalitas belaka. Maka disinilah pewarisan itu diperlukan. Setiap pendidikan umum memiliki fungsionalitas pendidikan agama sebagai fungsionalitas dasar. Konsep ini dikembalikan pada tugas utama manusia dibumi yakni sebagai khalifah-Nya, sebuah pendekatan yang meruncing pada rahmatan lil’alamin.
Dengan kata lain, dalam mata pelajaran pun harus ada upaya integrasi antara mata pelajaran yang dianggap ”umum” dengan “agama”. Nilai-nilai universal dari agama itu sendiri yang harus dimasukkan dalam setiap mata pelajaran sehingga akan tercipta harmonisasi ilmiah. Hal ini cukup kuat untuk menyatakan bahwa antara pendidikan agama dan pendidikan umum memiliki sinkronisasi fungsionalitas.
Himpunan pesan yang dapat dilakukan objek disebut sebagai perilaku objek (Bambang Harianto, Ir. , MT. :345). John Dewey menjelaskan bahwa pendidikan yang sesungguhnya adalah mampu memberikan gambaran objektif tentang dunia dimana peserta didik hidup, ke arah mana kehidupan dunia ini berjalan, dan peran apa yang dapat mereka lakukan di lingkungan sekitar mereka. Atau dengan kata lain pendidikan merupakan salah satu agen dalam proses sosialisasi yang dialami manusia. Sosialisasi merupakan proses seumur hidup (life-long process) dan pendidikan memfasilitasi tranformasi ketrampilan dan nilai-nilai luhur yang dibutuhkan seseorang dalam kehidupannya (John Dewey 1958:90)
Pesan (baca : esensi pengajaran/kemampuan) yang diharapkan bisa dilakukan oleh subyek didik adalah kognitif, yang memfokuskan pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), psikomotor, pada sisi keterampilan dan kreativitas, dan afektif, berperan pada penanaman etika dan moral yang meliputi integritas, kejujuran, komitmen, visi, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi, dll.
Esensi dari pendidikan ini adalah memberikan tempat yang sinergis antara pendidikan berbasis kognitif-psikomotorik dan pendidikan berbasis afektif (akhlaq atau moral). Semua ini ditujukan untuk menjawab sebuah fenomena peradaban manusia yakni untuk menjawab pesatnya laju kehidupan dan tantangan zaman. Ranah yang lebih sempit yakni dalam usaha mencetak bangsa yang tumbuh dalam naungan IPTEK dan IMTAQ
Dreeben (1968) menyebutkan bahwa apa yang dipelajari oleh seorang anak disekolah adalah di samping membaca, menulis, dan berhitung aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), dan spesifitas (specificity) juga merupakan faktor yang tidak boleh diabaikan. Selain itu, kurikulum berbasis kompetensi hendaknya mampu menyodorkan fakta-fakta mengenai problem kehidupan social (lazim disebut problem posing). Hal ini bermakna bahwa subyek didik diajak untuk memasuki arena problem solving. Problem posing-problem solving ini menjauhkan nalar subyek didik terjebak dalam bentuk pragmatis yang secara tidak langsung men-setting mindset subyek didik , belajar untuk memperoleh angka dan hanya mengejar kesejahteraan materiil. Selain itu, adanya problem posing-problem solving ini akan secara alami menggeser metode konventional yang menekankan pada aspek hafalan melulu, sekarang seharusnya subyek didik digiring ke ranah lain yakni untuk lebih merasakan dan lebih aplikatif (Effendi Hasan, 2008)
.
rangkuman (untuk yang agak ogah baca seambrek ^^hehe...) :
Lingkungan sosial : Keluarga, Fasilitator : lembaga non-pemerintah dan pemerintah, Penyelenggara : : sekolah, lembaga/institusi formal dan non-formal, masyarakat. Subyek didik : Intelegensi, Emosional, Spiritual quotion. Transformasi : ketrampilan, kreativitas, problem posing->problem solving (IPTEK) dan nilai-nilai luhur yang dibutuhkan seseorang dalam kehidupan (IMTAQ ; kemandirian, universalisme, spesifitas, integritas, kejujuran, komitmen, visi, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi, dll). Tools : knowladge. Metode : membaca, menggunakan tauladan, pengajaran yg mensinkronisasikan iman, ilmu, amal, dan pendekatan sujek didik. Elemen/aktor = objek yg sifatnya (abstraksi & pengapsulan,pewarisan,polymorphism,pesan). Sifat sistem : universal,terbaca,aplikatif,integralistik. Through put sistem : prestasi, prilaku, pandangan dan cara hidup serta cara berpikir subyek didik. Tujuan/output sistem : Pengabdian kepada YME = menjadi manusia utuh yakni seorang khalifah di bumi = pendekatan rahmatan lil ‘alamin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar